Prolog
Berdasarkan data dari situs energi AS, www.eia.gov (data tahun 2009), konsumen minyak mentah (crude oil) terbesar di dunia adalah AS (21%), Eropa (15.8%), dan China (11.2%).
Besarnya
konsumsi tiga negara/kawasan di atas menjadikan mereka sebagai pemain
utama yang sangat mempengaruhi fluktuasi harga minyak mentah.
Di
sisi lain, tiga negara/kawasan tersebut memiliki ketergantungan yang
sangat besar akan impor minyak mentah untuk pemenuhan kebutuhan domestik
mereka: AS (48%), Eropa (75%), dan China (50%). Hal ini menjadikan
fluktuasi harga minyak mentah juga akan sangat berpengaruh besar
terhadap ekonomi dari negara/kawasan tersebut.
Kenaikan harga
minyak mentah akan memicu inflasi tinggi, kenaikan harga-harga barang
& kebutuhan pokok, dan juga akan mengakibatkan memburuknya kondisi
perekonomian negara/kawasan tersebut.
Note: Data saya ambil
untuk tahun 2009, karena peta konsumsi minyak mentah dunia tahun 2010 ke
atas sudah berubah cukup drastis dengan pengembangan shale oil di
kawasan North America, termasuk AS. Ini akan saya bahas di tulisan saya
yang selanjutnya.
Minyak, Emas, dan Dollar AS
Menilik
sejarah ke belakang, selama perang dunia I dan II, AS masih mampu
mencukupi kebutuhan minyaknya sendiri. Pada tahun 1950an, M. King
Hubbert, seorang geophysicist ternama AS mengembangkan predictive model berupa kurva yang disebut Hubbert's curve. Kurva ini menunjukkan besaran produksi minyak mentah dari tahap discovery (penemuan lapangan minyak baru), hingga tahap depletion (penipisan cadangan).
Di
semua lapangan minyak, produksi akan meningkat seiring dengan
pengeboran sumur-sumur baru dan juga pengaplikasian teknologi-teknologi
baru. Akan tetapi pada akhirnya kondisi peak oil akan tercapai,
dan sesudahnya laju produksi akan melambat (dan cenderung negatif) dan
akan menjadi semakin tidak ekonomis. Berdasarkan kurva tersebut, akan
tercapai satu titik dimana besarnya usaha & biaya yang dibutuhkan
untuk mengambil minyak mentah dari perut bumi, transportasi, dan
menyuling (refine) minyak mentah akan lebih besar/mahal dari nilai minyak itu sendiri.
Pada awalnya, prediksi ini disambut dengan sikap skeptis oleh sebagian besar orang.
Akan
tetapi pada tahun 1970, prediksi tersebut benar-benar menjadi
kenyataan. Produksi minyak mentah di AS melambat dan tidak banyak
sumber-sumber cadangan minyak baru yang ditemukan. Para analis
memperkirakan bahwa cadangan minyak bumi dunia (global oil reserves)
menipis dengan laju 6% per tahun, sedangkan besar kebutuhan akan
meningkat sebesar 2% per tahun (dan akan terus meningkat selama 20 tahun
mendatang). Dengan kondisi tersebut, harga minyak mentah akan terus
meroket, dan terbukti menyentuh level USD 130/bbl pada tahun 2008.
Lantas bagaimanakah hubungan antara minyak, emas, dan Dollar AS ?
Dari
sejak jaman dahulu, emas sudah menjadi alat perdagangan yang paling
utama. Sebuah negara yang memiliki simpanan emas terbanyak secara
otomatis menjadi negara yang paling kaya. Hal inilah yang mendorong
negara2 Eropa di abad 15 untuk mengeksplorasi daerah baru di barat,
dimana salah satu tujuan utamanya adalah untuk mencari emas
sebanyak-banyaknya, yang akan menjadikan mereka sebagai negara terkaya.
Pada pertengahan tahun 1800-an, uang kertas mulai diperkenalkan sebagai 'representasi' emas yang bersifay bulky
dan sangat tidak praktis digunakan untuk bertransaksi. Jumlah uang
kertas yang dapat dicetak oleh satu negara haruslah setara dengan jumlah
emas yang dimiliki oleh negara tersebut. Hal ini merupakan syarat utama
untuk menjaga nilai mata uang kertas itu sendiri dari ancaman inflasi.
Akan
tetapi, pada kenyatannya persyaratan utama ini dilanggar oleh AS
sendiri. Ketika Perang Dunia I berkecamuk, AS ikut terseret di dalamnya.
The Fed (Federal Reserves - bank sentral AS yang
didirikan tahun 1913 untuk melakukan regulasi mata uang & emas AS)
mencetak lebih banyak uang untuk menutupi besarnya biaya yang
ditimbulkan oleh keterlibatan AS dalam Perang Dunia I. Hal ini
menyebabkan Dollar AS yang beredar lebih banyak dari simpanan emas itu
sendiri.
Ketika PD I berakhir, US Treasury Dept.
(departemen keuangan AS, yang bertugas untuk mengelola aset-aset negara)
menyadari ancaman akan adanya kegagalan penebusan emas jika pemegang
Dollar AS bermaksud mencairkan Dollar AS dan menukarkannya dengan emas.
Stok emas yang ada saat itu tidak mencukupi/tidak sebanding dengan
Dollar AS yang beredar. Hal ini dapat mengakibatkan kepanikan dan
penarikan simpanan emas secara besar-besaran oleh publik.
Keadan tersebut memaksa Presiden Roosevelt untuk mengambil kebijakan dengan mengeluarkan US Gold Reserve Act
di tahun 1933, yang isinya adalah antara lain mencabut hak kepemilikan
emas oleh pihak swasta & perorangan. Sebagai konsekuensinya, emas
yang ada di pasaran harus dikembalikan/dijual secara ekslusif ke Treasury sebagai pengelola aset negara yang sah . Selain itu, Act tersebut juga menaikkan 'harga' emas dari US$ 20.67 per ounce hingga menjadi US$ 35 per ounce.
Insentif ini memancing para investor emas yang ada di belahan dunia
yang lain untuk mengekspor emas ke AS, dimana hal ini secara tidak
langsung akan meningkatkan cadangan emas Treasury.
Di tahun 1944, delegasi dari 44 negara berkumpul di AS di sebuah konferensi yang dikenal sebagai Bretton Woods Conference. Konferensi ini membidani lahirnya International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Di konferensi ini pula, semua negara bersepakat untuk menetapkan fix currency rate antara mata uang mereka dengan Dollar AS (dikenal juga dengan istilah peg).
Mekanisme ini dilakukan oleh bank sentral di tiap negara, dengan
melakukan intervensi terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang. Jika
nilai mata uang di satu negara lebih rendah terhadap Dollar AS, maka
bank sentral akan melakukan pembelian mata uang mereka di foreign exchange market.
Sebaliknya jika nilai tukar mata uang terlalu tinggi terhadap Dollar
AS, maka bank sentral akan mengeluarkan kebijakan untuk mencetak lebih
banyak uang.
Dollar AS disepakati sebagai acuan currency rate
oleh banyak negara dunia, karena saat itu AS memiliki persediaan emas
terbanyak (sekitar 3/4 dari total jumlah emas dunia), dan AS merupakan
negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Saat itu, Dollar AS
dipatok setara dengan 1/35 ounce emas. Secara tidak langsung, dengan mem-peg mata uang terhadap Dollar AS, berarti mematok terhadap nilai emas.
Di
saat yang sama, AS juga merupakan produsen minyak terbesar di dunia,
dan sebaliknya juga merupakan konsumen minyak terbesar di dunia. Semua
transaksi perdangangan minyak dilakukan dengan Dollar AS, terkecuali
transaksi dengan negara-negara Timur Tengah, dimana transaksi
perdagangan minyak bumi dilakukan dengan emas.
Pasca Perang Dunia
II, AS sebagai pemenang perang mendominasi perekonomian dunia, sedangkan
Jepang & Jerman yang berada di pihak yang kalah menjalani pemulihan
ekonomi berdasarkan Marshall Plan Program (1948-1951).
Di
dekade 1960an, keadaan ekonomi Jepang & Jerman membaik dan industri
berkembang secara signifikan. Hal ini menyebabkan dominasi AS dalam
perekonomian dunia mengalami penurunan. Di tahun 1971, AS mengalami
stagflasi, yaitu kondisi dimana terjadi tingginya angka inflasi &
pengangguran dan resesi ekonomi, dimana salah satu penyebabnya adalah
kerugian dan kegagalan AS dalam perang Vietnam.
Rencana Presiden
Nixon untuk men-deflasi nilai Dollar AS disambut dengan penurunan
kepercayaan pasar. Penebusan emas terjadi secara besar-besaran yang pada
akhirnya mengakibatkan menipisnya persediaan emas AS. Di tahun 1973,
Presiden Nixon mengeluarkan kebijakan (yang kemudian dikenal sebagai Nixon Shock)
untuk memutus ikatan antara Dollar AS dengan emas. Tanpa ada kontrol
dari pemerintah, harga emas mencapai level tertinggi US$ 120 per ounce. Peristiwa-peristiwa tersebut menandai berakhirnya era Bretton Woods.
Menyadari
melemahnya apresiasi dunia terhadap Dollar AS, Presiden Nixon berupaya
melobi Arab Saudi untuk menggunakan Dollar AS sebagai alat transaksi
untuk setiap perdagangan minyak dengan Arab Saudi. Posisi strategis Arab
Saudi sebagai anggota OPEC sekaligus produsen minyak bumi terbesar di
dunia dianggap akan mengembalikan nilai tukar dan memastikan
ketergantungan akan Dollar AS. Sebagai imbalannya, AS akan memasok
senjata dan menjamin perlindungan Arab Saudi dari ancaman konflik &
ketegangan yang acapkali melanda Timur Tengah.
Kesepakatan ini
membuahkan hasil, dan semenjak tahun 1975, transaksi perdagangan minyak
bumi (dan hampir seluruh transaksi ekonomi dunia) hampir pasti selalu
menggunakan Dollar AS sebagai alat tukar utamanya.
Epilog
Meskipun
Dollar AS menjadi standar mata uang yang digunakan untuk transaksi
perdagangan dunia, sejatinya hal tersebut tidak serta-merta selalu
membawa keuntungan bagi perekonomian AS. Tingginya nilai tukar Dollar AS
yang diakibatkan oleh tingginya demand (misal ketika jatuh
tempo pembayaran utang negara-negara berkembang) justru melemahkan
ekspor dan membuat impor lebih murah. Hal ini bisa menyebabkan trade deficit, dan membahayakan sektor-sektor industri di AS yang sangat bergantung kepada aktifitas ekspor.
Dengan
kecenderungan melemahnya Dollar AS dari tahun ke tahun, hal ini akan
semakin mengakibatkan mahalnya harga emas dan minyak. Meningkatnya
defisit nilai tukar Dollar AS dan beban utang luar negeri AS yang
menggunung, akan mengakibatkan negara-negara yang memiliki cadangan
devisa dalam bentuk Dollar AS akan berpaling menggunakan mata uang
alternatif (misal: Euro).
Perdana Mentri Rusia, Vladimir Putin,
dan Presiden Venezuela, Hugo Chavez (R.I.P.) pernah mengumumkan untuk
mengganti seluruh transaksi perdagangan minyak bumi dengan menggunakan
Euro, dalam waktu dekat. Bahkan Arab Saudi juga memiliki maksud yang
sama (selain wacana untuk kembali menggunakan emas/dinar). Jika hal ini
sampai terjadi, bisa dibayangkan betapa porak-porandanya nilai tukar
Dollar AS, dan meroketnya harga emas dan minyak bumi.
Rententan peristiwa inilah yang menjadi dasar dari Petrodollar theory, yakni teori yang berkembang dan diyakini sebagai alasan utama mengapa AS melakukan invasi ke Iraq pasca 9/11.